Monday, 18 January 2016

Dimana kedua orang tua Rasulullah?

Hadits Shahih di kitab Sunan Muslim bab 90 – tentang Penjelasan orang yang meninggal dalam keadaan kafir akan masuk neraka dan tidak akan mendapat syafaat, juga tidak bermanfaat baginya famili dekat.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى قَالَ « فِى النَّارِ ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ « إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ ». [صحيح]
"Anas meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi tentang ayahnya, "Dimanakah gerangan ayahku?" Beliau menjawab, "Di neraka." Kemudian, setelah lelaki itu berpaling, beliau memanggil dan bersabda, "Ayahku dan ayahmu di neraka." (Shahih)
Pembahasan:
-          Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 72/2 darul fajar, mengatakan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur pada masa fatrah (masa peralihan) termasuk ahli neraka.
-          Pendapat ini didukung oleh pemilik kitab Aunul Ma'bud dengan perincian lebih mendalam sebagai berikut,
          وَكُلّ مَا وَرَدَ بِإِحْيَاءِ وَالِدَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيمَانهمَا وَنَجَاتهمَا أَكْثَره مَوْضُوع مَكْذُوب مُفْتَرًى ، وَبَعْضه ضَعِيف جِدًّا لَا يَصِحّ بِحَالٍ لِاتِّفَاقِ أَئِمَّة الْحَدِيث عَلَى وَضْعه كَالدَّارَقُطْنِيّ وَالْجَوْزَقَانِيّ وَابْن شَاهِين وَالْخَطِيب وَابْن عَسَاكِر وَابْن نَاصِر وَابْن الْجَوْزِيّ وَالسُّهَيْلِيّ وَالْقُرْطُبِيّ وَالْمُحِبّ الطَّبَرِيّ وَفَتْح الدِّين بْن سَيِّد النَّاس وَإِبْرَاهِيم الْحَلَبِيّ وَجَمَاعَة. وَقَدْ بَسَطَ الْكَلَام فِي عَدَم نَجَاة الْوَالِدَيْنِ الْعَلَّامَة إِبْرَاهِيم الْحَلَبِيّ فِي رِسَالَة مُسْتَقِلَّة ، وَالْعَلَّامَة عَلِيّ الْقَارِي فِي شَرْح الْفِقْه الْأَكْبَر وَفِي رِسَالَة مُسْتَقِلَّة ، وَيَشْهَد لِصِحَّةِ هَذَا الْمَسْلَك هَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح .
وَالشَّيْخ جَلَال الدِّين السُّيُوطِيّ قَدْ خَالَفَ الْحَافِظ وَالْعُلَمَاء الْمُحَقِّقِينَ وَأَثْبَتَ لَهُمَا الْإِيمَان وَالنَّجَاة فَصَنَّفَ الرَّسَائِل الْعَدِيدَة فِي ذَلِكَ ، مِنْهَا رِسَالَة التَّعْظِيم وَالْمِنَّة فِي أَنَّ أَبَوَيْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّة.
قُلْت : الْعَلَّامَة السُّيُوطِيُّ مُتَسَاهِل جِدًّا لَا عِبْرَة بِكَلَامِهِ فِي هَذَا الْبَاب مَا لَمْ يُوَافِقهُ كَلَام الْأَئِمَّة النُّقَّاد. وَقَالَ السِّنْدِيُّ : مَنْ يَقُول بِنَجَاةِ وَالِدَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْمِلهُ عَلَى الْعَمّ فَإِنَّ اِسْم الْأَب يُطْلَق عَلَى الْعَمّ مَعَ أَنَّ أَبَا طَالِب قَدْ رَبَّى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَسْتَحِقّ إِطْلَاق اِسْم الْأَب مِنْ تِلْكَ الْجِهَة اِنْتَهَى . وَهَذَا أَيْضًا كَلَام ضَعِيف بَاطِل. وَقَدْ مَلَأَ مُؤَلِّف سِيَر رُوح الْبَيَان تَفْسِيره بِهَذِهِ الْأَحَادِيث الْمَوْضُوعَة الْمَكْذُوبَة كَمَا هُوَ دَأْبه فِي كُلّ مَوْضِع مِنْ تَفْسِيره بِإِيرَادِهِ لِلرِّوَايَاتِ الْمَكْذُوبَة فَصَارَ تَفْسِيره مَخْزَن الْأَحَادِيث الْمَوْضُوعَة. وَقَالَ بَعْض الْعُلَمَاء التَّوَقُّف فِي الْبَاب هُوَ الْأَسْلَم وَهُوَ كَلَام حَسَن وَاَللَّه أَعْلَم . [عون المعبود: باب فى ذرار المشركين]


Pendapat M. Rasyid Ridha dalam majalah al-Manar:
أهل الفترة وأبوا النبي صلى الله عليه وسلم :
( ج ) الفترة هي المدة بين رسول وآخر ، وأصلها قوله تعالى : { يَا أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِّنَ الرُّسُلِ أَن تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلاَ نَذِيرٍ } ( المائدة : 19 ) الآية من سورة المائدة ، وإن أبوي النبي صلى الله عليه وسلم كانا من أهل الفترة قطعًا ، وحكمهم أن من لم تبلغه منهم دعوة رسول سابق لا يكونون مسئولين عند الله تعالى عما لم يخاطبوا به من أمر الدين المنزل ،ويؤخذ من النصوص العامة أنهم لا يكونون في الآخرة سواء ، لا فرق بين موحد ومشرك ، وخَيِّر وشرير ، بل تختلف أحوالهم بحسب صلاح أنفسهم وفسادها بهداية الفطرة والعقل ، وفي هذا جمع بين أقوال العلماء المختلفة فيهم بحسب فهمنا ، وأما من وردت فيهم نصوص عن الله ورسوله فهي الحق ، ومنه حديثا مسلم ، ولكن لا ينبغي لمسلم أن يتشدق بمعناهما بما ينافي الأدب مع الرسول الأعظم ، صلى الله عليه وآله وسلم ، ولا أن يذكره إلا في مقام التعليم أو الفتوى بقدر الضرورة .
ولم يصح حديث في إحياء الأبوين الشريفين وإسلامهما ، وأقوى ما يرجى من أسباب نجاتهما في الآخرة ما ورد من امتحان الله تعالى في الآخرة من لم تبلغهم الدعوة ويعاملهم بحسب ذلك الامتحان فمن أطاع نجا ومن عصى هلك ، بأن يكونا من المطيعين لله فيما يمتحنهما به ويدخلهما الجنة ، وهذا لا يعد معارضًا لحديثي مسلم المشار إليهما في الاستفتاء ؛ لأن الحديثين في حكمهما بحسب ما ماتا عليه ، ونجاتهما بالامتحان إنما تكون في موقف الحساب يوم القيامة ، ويقوي هذا الرجاء فوق ما نقل عنهما من كونهما كانا من أسلم الناس فطرة وخيرهم فضيلة ، إكرام الله تعالى لنبيه الأعظم صلى الله عليه وسلم بإلهامهما الطاعة في ذلك الامتحان ، وقد فصلنا هذه المسألة من كل وجه في تفسير قصة إبراهيم مع أبيه آزر من سورة الأنعام ( ص537 ج 7 من تفسير المنار ) .

Pendapat Mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum'ah
Secara garis besar Dr. Ali Jum'ah mengungkapkan pendapatnya dengan pendekatan cinta. Dia mengatakan bahwa kita wajib mencinta Rasulullah saw. karena beliau bersabda, "Demi Dzat yang menguasai jiwaku, seseorang kalian tidak akan beriman kecuali aku lebih dicintainya melebihi orangtua, anak, dan semua orang." (HR Bukhari Ahmad)
Cinta terhadap Nabi saw. berarti tidak menyakiti perasaan beliau dengan mengatakan kedua orangtua beliau adalah penghuni neraka. Allah juga dalam firmanNya telah mengancam orang yang menyakiti Nabi dengan siksaan yang pedih (at-Taubah: 61) dan (al-Ahzab: 58).

Kedua orangtua Nabi dan nenek moyang beliau, meskipun jika ada yang masuk dalam perbuatan syirik, mereka itu bukanlah orang musyrik karena hidup pada masa fatrah (peralihan) antara satu nabi dengan nabi yang lain. Orang-orang yang hidup pada masa peralihan ini, meskipun hidup dalam kemusyrikan, menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah, mereka tetap tidak di siksa.

Membaca Al-Qur'an Menggunakan Langgam Jawa

Belakangan ini terdengar banyak pembicaraan menyangkut bacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa. Ada yang menerima dengan baik, ada  juga yang menolak, bahkan ada yang mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang keji.
Tidak dapat disangkal bahwa ada tatacara yang harus diindahkan dalam membaca al-Qur’an, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai dan berhenti, bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain. Inilah syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan. Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya?
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw. menganjurkan agar al-Qur’an dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa, atau  Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas) Dr. Machasin mengatakan bahwa pembacaan qur’an menggunakan langgam jawa tidak apa-apa dan itu sudah ada sejak dahulu. Lalu kemudian khazanah ini tergerus dengan adanya cara membaca dari Timur Tengah.
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar menerangkan inti permasalahan ini terletak pada belum terbiasanya masyarakat mendengar langgam jawa yang digunakan untuk membaca Alquran.
Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Jamiah Islamiyah Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude.  Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI. Kalau kita tanyakan masalah ini kepada beliau, nampaknya pandangan beliau jauh lebih luas. Barangkali karena beliau memang orang Indonesia asli yang paham betul karakter bacaan Al-Quran bangsa ini.
Beliau mengatakan, “Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan mahrajnya. Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar 'jawabul jawab' di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama memperhatikan hukum bacaan semestinya. Itu kratifitas budayanya".
1. Hadits Larangan Selain Langgam Arab
Lalu bagaimana dengan hadits yang mana Rasulullah SAW mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab?
اقرَءوا القُرآنَ بِلُحونِ العَرَبِ وَأصواتِها ، وإيَّاكُم وَلُحُونَ أهلِ الكِتابِ ، وَأهلِ الفِسقِ ، فإنَّهُ سَيجيءُ مِنْ بَعدِي قَومٌ يُرجِّعوُنَ بِالقرآنِ تَرجِيعَ الرَّهبانِيةِ ، وَالنَّوْحِ وَالغِناءِ، لا يُجاوِزُ حَناجِرَهُم، مَفتونَةٌ قُلوبُهُم ، وَقُلُوبُ الذينَ يُعجِبُهُمْ شَأنُهُمْ

Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahli kitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR.Tarmidzi)

a. Sanad Yang Lemah
Dari sisi sanad sebenarnya kalau ditelurusui kedudukan hadis ini tersebut tergolong dalam hadis dha'if (lemah). Karena salah satu sanad perawinya ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif. Bahkan ada muhaddits yang mengatakan bahwa hadits ini termasuk munkar dan bukan termasuk hadist. Maka dari sisi derajat hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai. 

b. Langgam Arab Yang Mana?
Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq, Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsa-bangsa kafir non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab.
Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang shahih, dan larangan Rasulullah SAW itu 'terpaksa' kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca Al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka itu bukan dari Mekkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab. 
Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab melainkan bahasa Persia.
Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.

2. Lahjah (dialek) Tidak Benar
Lahjah yang dianggap tidak benar oleh Syeikh Ali Basfar itu boleh jadi memang demikian. Maksudnya si pembacanya dianggap kurang baik bacaannya. Dan itu biasa, semua yang pernah ikut daurah Al-Quran dengan beliau pasti pernah merasakan disalah-salahkan ketika dianggap lahjah kita kurang pas di telinga beliau.
Namun kita harus membedakan antara lahjah dengan langgam. Yang beliau kritisi adalah lahjahnya yang kurang tepat dan itu harus diakui. Membaca Al-Quran memang harus dengan lahjah yang benar. SIfat-sifat huruf, makharijul huruf dan juga hukum-hukum yang berlaku pada ilmu tajwid memang wajib ditaati dan dijalankan dengan benar.
Tetapi langgam adalah sesuatu yang lain dan berbeda. Karena langgam merupakan irama atau nada, bukan lahjah. Contoh mudahnya, ketika membunyikan huruf shad, pipi harus kembung. Huruf ra' kadang harus dibaca tebal kadang harus tipis. Ini semua adalah lahjah dan bukan irama.
Sedangkan langgam itu adalah irama dan nada, sama sekali tidak ada hubungannya dengan titik artikulasi, pelafalan huruf ataupun hukum-hukum seperti idzhar, idgham, iqlab dan ikhfa'. Dan kalau sudah masuk wilayah irama dan nada, tiap bangsa dan tiap negeri pasti punya ciri khas yang identik dan tidak bisa dipisahkan. 
Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sana sedang membaca Al-Quran, pasti kita akan merasakan ada 'nada-nada' khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca Al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada kemelayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca Al-Quran? Jawabnya tentu tidak sama sekali.

3. Langgam Jawa = Menghidupkan Ashabiyah /fanatisme kesukuan?
Adapun masalah membaca Al-Quran dianggap menghidupkan ashabiyah, jelas sekali bahwa yang jadi masalah bukan pada langgamnya tetapi pada niat dan tujuan untuk menghidupkan ashabiyah. Kalau memang niatnya semata-mata ingin menghidup-hidupkan ashaiyah, tentu saja hukumnya haram. Tetapi bagaimana kita bisa pastikan bahwa yang membacanya punya niat tersebut? Lantas bagaimana kalau si pembacanya sama sekali tidak punya niatan dan maksud untuk menghidup-hidupkan ashabiyah? Apakah kita tetap memaksanya harus ashabiyah?
Ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukankah itu juga ashabiyah? Ketika kita mengibarkan sang saka Merah Putih, bukankah itu ashabiyah? Apakah haram kita menyanyikannya dan mengibarkan bendera Merah Putih?

4. Langgam Jawa = Menjelekkan Al-Quran
Apalagi kalau dikatakan bahwa langgam Jawa itu dianggap menjelekkan Al-Quran. Tentu sifatnya sangat subjektif sekali. Apa benar qari yang lahjahnya sempurna, tajwidnya benar dan suaranya fasih luar biasa, ketika membaca Al-Quran dengan langgap Jawa lantas niatnya ingin mengolok-ngolok dan menjelekkan Al-Quran?

Kesimpulan
Apa yang saya sampaikan ini semuanya bukan pendapat saya, tetapi hanya hasil kutipan dan saduran dari pendapat para pakar ilmu qiraat semata. Dan kalau ada dua pendapat yang saling bertentangan, kita harus maklum. Namanya saja masalah ijtihad, para ahlinya silahkan berbeda pendapat. Sementara kita yang bukan ahli ilmu qiraat, apalagi yang kualitas bacaan Al-Qurannya masih parah dan bermasalah, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan berfatwa. Biarkan saja para pakarnya yang berbeda pendapat, sebab mereka memang ahlinya. Mereka berhak dan punya kompetensi untuk itu. 

Dalam kitab tafsir munir karya Dr. Wahbah Zuhaili disebutkan bahwa imam madzhab 4 dari dulu sudah berbeda pendapat dalam hal melagukan/mengiramakan bacaan al-Qur’an. Imam Malik dan Ahmad tidak memperbolehkan dan menghukuminya makruh, sementara Imam Hanafi dan Syafii memperbolehkan. Masing-masing memiliki dalil yang menguatkan.


Adapun kita, mari kita duduk manis saja mendengarkan para pakar berbeda pendapat, tidak perlu merasa jadi pahlawan kesiangan di bidang yang sama sekali bukan keahlian kita. Dari pada bikin pernyataan terlalu jauh ternyata kurang tepat, lebih baik kita tahu diri seraya berdoa memohon kepada Allah agar kita diberikan anugerah untuk bisa membaca Al-Qur’an secara istiqomah. Dan bacaan kita itu benar sehingga mendapatkan pahala dari Allah swt. Tak lupa kita juga memohon kepadaNya agar kita diberikan kepahaman akan ayat-ayatnya. Amin.
Khutbah Pertama : Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.
Khutbah jum'at 18 Desember 2015 di Masjid PP Al-Qur'an Modern
Oleh: M.Muhlisin, Lc

الحمد لله رب العالمين، نحمدك اللهم بالمحامد اللائقة بكمال ألوهيتك، ونثنى عليك بالثنائات اللائقة بعظمة ربوبيتك، سبحانك سبحانك، لا نحصى ثنآء عليك، أنت كما أثنيت على نفسك، يا من تقاصر شكرى عن آياديه، وَكَلَّ كل لسان عن معاليه، وجوده لم يزل فردا بلا شبه، عَلا عن الوقت ماضيه وآتيه، لا دهر يخلقه، لا قهر يلحقه، لا كشف يظهره، لا سِتر يُخفيه، لا عدَّ يَجمعه، لا حدَّ يقطعه، لا ضد يمنعه لا قُطر يَحويه، لا كون يَحْصُره، لا عون ينصره، وليس فى الوهم معلوم يضاهيه، جلاله أزلي لا زوال له، وملكه دائم لا شيء يُفنيه. نحمدك يا ربنا حمدا، كما ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك، ونشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، ونشهد أن سيدنا محمدا صلى الله عليه وآله وسلم عبده ورسوله. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد، وعلى آله وأصحابه، وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين. يا سيدى يارسول الله معذرة، إذا كبى فيك تبيانى وتعبيرى، ماذا أوفيك من حق وتكرمة، وأنت تعلو على ظنى وتقديرى، أقبلت كالبدر وضَّاح الأسارير، تدعو إلى الله فى بشر وتيسير، على جبينك نور الحق منبلجا، وفى يديك لواء العدل والنور. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد، واجعل ياربنا صلاتك شاملةً لأصحابه وآله ومن تبعهم بإحسان إلى يوم لقاك أما بعد: وأوصيكم أيها المسلمون، ونفسي المذنبة بتقوى الله، فقد فاز المتقون. وقال تبارك وتعالى، يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون. (ال عمران: 102) أيها السادة الحضورُ الكرام، حياكم الله تعالى بالسلام، وأدخلنا وإياكم الجنة دارَ السلام بسلام.
معاشر المسلمين رحمكم الله، اتقوا الله....
Pada khutbah kali ini mari kita tingkatkan kecintaan kita kepada Nabi Besar Muhammad saw., terlebih kita sekarang berada di bulan maulid, dan Allah juga sudah menegaskan di dalam Al-Qur’an,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Imam Suyuti mengutip dari Imamul Qura’ Syamsudin ibnu Jazari dalam kitabnya Arfu Ta’rif bil Maulidi Syarif mengatakan bahwa benar bila Abu Lahab diringankan siksanya tiap malam senin karena memerdekakan budaknya, Tsuwaibah yang mengabarkan kabar gembira tentang kelahiran Rasulullah saw.. Karena itu, Imam Syamsudin Ad-Dimasyqi dalam kitab Mauridu Shafi fi Maulidil Hadi bersyair,
إذا كان هذا كافرا جاء ذمه  # وتبت يداه في الجحيم مخَلَّدا
أتى انه في يوم الإثنين دائما # يخفف عنه للسرور بأحمدا
فما الظن بالعبد الذي كان عمرَه # بأحمد مسرورا ومات موَحِّدا
Para ulama telah memberikan teladan bagaimana bersikap dan cara mencintai orang-orang saleh. Abu Zur'ah ar-Razi (w. 264 H.), Muhaddits besar dari Ray, saat ini masuk wilayah Iran, menuturkan,
"Pada suatu hari saya hadir di majelis Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w.241 H). Saat itu beliau duduk dengan posisi bersandar dan agak santai karena kondisinya yang kurang sehat.
Ketika salah seorang hadirin menyebutkan tentang Ibrahim bin Thahman (w. 163 H), seorang ulama saleh dari Khurasan, maka Imam Ahmad merubah posisinya dan duduk dengan posisi tegak sembari berkata,
لا ينبغي أن يُذكَر الصالحون فنتكئ
"Tidak sepatutnya kita duduk dengan bersandar (santai) ketika kita mendengar orang-orang saleh disebutkan." (Dari Kitab al-Furu’ karya Ibnu Muflih al-Hanbali, kitab Tadzkirarul-Huffâzh karya Imam Dzahabi, dan kitab Tahdzîbut-Tahdzîb karya al-Hafizh Ibnu Hajar).
Inilah salah satu adab yang dicontohkan oleh Imam Ahmad terhadap orang saleh. Beliau menunjukkan penghormatan beliau, bukan hanya ketika orang saleh tersebut ada di sisinya, namun juga ketika hanya mendengar nama atau biografinya disebutkan.
Oleh karena itu, kalau di Nusantara, bahkan di sejumlah negara Arab, orang-orang berdiri saat nama Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam disebutkan dalam bacaan shalawat, khususnya saat mahallul qiyâm, sebaiknya tidak usah “nggumun” (tidak usah heran). Bukankah itu bisa masuk dalam penghormatan terhadap beliau Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam? Semoga kita dapat meniru etika luhur yang dicontohkan oleh para pendahulu kita.

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم. قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. وادعوا ربكم!
Khutbah Kedua:
الحمد لله رب العالمين, نحمدك اللهم حمد الشاكرين، ونسألك اللهم الهدى والتقى والتثبيت واليقين، ونشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، ونشهد أن سيدنا وسندنا وإمامنا وتاجنا وفخرنا وذخرنا وعزنا وقائدنا محمدا عبد الله ورسوله، وصفيه من خلقه وحبيبه وخليله. اللهم صل وسلم وبارك علي سيدنا محمد، وعلى آله وأصحابه وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين. عباد الله اتقوا الله فى عموم الأوقات، وادرؤوا بالحسنة السيئة، إن الحسنات يذهبن السيئات. وأكثروا من الصلاة على نبيكم، فقد تأكد ذلك فى كتاب المبين، قال تعالى تشريفا لقدر نبيه وتنبيها لكم وتعليما: إنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب:56)
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات، والمسلمين والمسلمات، الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات يا رب العالمين. اللهم إنا نسألك باسمك الطيب الطاهر المبارك الأحبِّ إليك، الذى إذا سئلت به أجبت، وإذا استعطيت به أعطيت، وإذا استرحمت به رحمت وإذا استفرجت به فرجت. ونسألك اللهم بكل اسم هو لك سميت به نفسك، أو انزلته فى كتابك، أو علمته أحدا من خلقك، أو اثتأثرت به فى علم الغيب عندك، أن تجعل القرآن العظيم ربيع قلوبنا، ونور صدورنا، وجلاء همومنا وغمومنا، اللهم ذكرنا منه ما نسينا، وعلمنا منه ما جهلنا، وارزقنا تلاوته آنآء الليل وأطراف النهار على الوجه الذى يرضيك عنا يا رب العالمين.
اللّهم انا نسألُك أن ترزُقَنا حبَّك.. وحبَّ من يُحبُّك.. وحبَّ كلِّ عملٍ يُقرِّبُنا إلى حبِّك،ونسألك اللهم علما نافعا، وقلبا خاشعا، ولسانا صادقا، وعملا صالحا متقبلا، ونسألك اللهم عينا دامعا، ونفسا قانعا، ونسألك الغنى عن الناس. اللهم إنا نسألك العطاء بعد العطاء، ونعوذبك من السلب بعد العطاء، اللهم إنا نسألك الزيادة بعد الزيادة، ونعوذبك من النقص بعد الزيادة.

ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. وصلى الله علي سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. والحمد لله رب العالمين. عباد الله إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي، يعظكم  لعلكم تذكرون، فاذكروا الله العظيم يذكركم، واشكروه على نعمه يزدكم ولذكر الله أكبر وأقم الصلاة.

Resources