Monday, 18 January 2016

Membaca Al-Qur'an Menggunakan Langgam Jawa

Belakangan ini terdengar banyak pembicaraan menyangkut bacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa. Ada yang menerima dengan baik, ada  juga yang menolak, bahkan ada yang mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang keji.
Tidak dapat disangkal bahwa ada tatacara yang harus diindahkan dalam membaca al-Qur’an, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai dan berhenti, bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain. Inilah syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan. Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya?
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw. menganjurkan agar al-Qur’an dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa, atau  Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas) Dr. Machasin mengatakan bahwa pembacaan qur’an menggunakan langgam jawa tidak apa-apa dan itu sudah ada sejak dahulu. Lalu kemudian khazanah ini tergerus dengan adanya cara membaca dari Timur Tengah.
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar menerangkan inti permasalahan ini terletak pada belum terbiasanya masyarakat mendengar langgam jawa yang digunakan untuk membaca Alquran.
Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Jamiah Islamiyah Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude.  Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI. Kalau kita tanyakan masalah ini kepada beliau, nampaknya pandangan beliau jauh lebih luas. Barangkali karena beliau memang orang Indonesia asli yang paham betul karakter bacaan Al-Quran bangsa ini.
Beliau mengatakan, “Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan mahrajnya. Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar 'jawabul jawab' di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama memperhatikan hukum bacaan semestinya. Itu kratifitas budayanya".
1. Hadits Larangan Selain Langgam Arab
Lalu bagaimana dengan hadits yang mana Rasulullah SAW mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab?
اقرَءوا القُرآنَ بِلُحونِ العَرَبِ وَأصواتِها ، وإيَّاكُم وَلُحُونَ أهلِ الكِتابِ ، وَأهلِ الفِسقِ ، فإنَّهُ سَيجيءُ مِنْ بَعدِي قَومٌ يُرجِّعوُنَ بِالقرآنِ تَرجِيعَ الرَّهبانِيةِ ، وَالنَّوْحِ وَالغِناءِ، لا يُجاوِزُ حَناجِرَهُم، مَفتونَةٌ قُلوبُهُم ، وَقُلُوبُ الذينَ يُعجِبُهُمْ شَأنُهُمْ

Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahli kitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR.Tarmidzi)

a. Sanad Yang Lemah
Dari sisi sanad sebenarnya kalau ditelurusui kedudukan hadis ini tersebut tergolong dalam hadis dha'if (lemah). Karena salah satu sanad perawinya ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif. Bahkan ada muhaddits yang mengatakan bahwa hadits ini termasuk munkar dan bukan termasuk hadist. Maka dari sisi derajat hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai. 

b. Langgam Arab Yang Mana?
Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq, Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsa-bangsa kafir non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab.
Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang shahih, dan larangan Rasulullah SAW itu 'terpaksa' kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca Al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka itu bukan dari Mekkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab. 
Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab melainkan bahasa Persia.
Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW.

2. Lahjah (dialek) Tidak Benar
Lahjah yang dianggap tidak benar oleh Syeikh Ali Basfar itu boleh jadi memang demikian. Maksudnya si pembacanya dianggap kurang baik bacaannya. Dan itu biasa, semua yang pernah ikut daurah Al-Quran dengan beliau pasti pernah merasakan disalah-salahkan ketika dianggap lahjah kita kurang pas di telinga beliau.
Namun kita harus membedakan antara lahjah dengan langgam. Yang beliau kritisi adalah lahjahnya yang kurang tepat dan itu harus diakui. Membaca Al-Quran memang harus dengan lahjah yang benar. SIfat-sifat huruf, makharijul huruf dan juga hukum-hukum yang berlaku pada ilmu tajwid memang wajib ditaati dan dijalankan dengan benar.
Tetapi langgam adalah sesuatu yang lain dan berbeda. Karena langgam merupakan irama atau nada, bukan lahjah. Contoh mudahnya, ketika membunyikan huruf shad, pipi harus kembung. Huruf ra' kadang harus dibaca tebal kadang harus tipis. Ini semua adalah lahjah dan bukan irama.
Sedangkan langgam itu adalah irama dan nada, sama sekali tidak ada hubungannya dengan titik artikulasi, pelafalan huruf ataupun hukum-hukum seperti idzhar, idgham, iqlab dan ikhfa'. Dan kalau sudah masuk wilayah irama dan nada, tiap bangsa dan tiap negeri pasti punya ciri khas yang identik dan tidak bisa dipisahkan. 
Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sana sedang membaca Al-Quran, pasti kita akan merasakan ada 'nada-nada' khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca Al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada kemelayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca Al-Quran? Jawabnya tentu tidak sama sekali.

3. Langgam Jawa = Menghidupkan Ashabiyah /fanatisme kesukuan?
Adapun masalah membaca Al-Quran dianggap menghidupkan ashabiyah, jelas sekali bahwa yang jadi masalah bukan pada langgamnya tetapi pada niat dan tujuan untuk menghidupkan ashabiyah. Kalau memang niatnya semata-mata ingin menghidup-hidupkan ashaiyah, tentu saja hukumnya haram. Tetapi bagaimana kita bisa pastikan bahwa yang membacanya punya niat tersebut? Lantas bagaimana kalau si pembacanya sama sekali tidak punya niatan dan maksud untuk menghidup-hidupkan ashabiyah? Apakah kita tetap memaksanya harus ashabiyah?
Ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukankah itu juga ashabiyah? Ketika kita mengibarkan sang saka Merah Putih, bukankah itu ashabiyah? Apakah haram kita menyanyikannya dan mengibarkan bendera Merah Putih?

4. Langgam Jawa = Menjelekkan Al-Quran
Apalagi kalau dikatakan bahwa langgam Jawa itu dianggap menjelekkan Al-Quran. Tentu sifatnya sangat subjektif sekali. Apa benar qari yang lahjahnya sempurna, tajwidnya benar dan suaranya fasih luar biasa, ketika membaca Al-Quran dengan langgap Jawa lantas niatnya ingin mengolok-ngolok dan menjelekkan Al-Quran?

Kesimpulan
Apa yang saya sampaikan ini semuanya bukan pendapat saya, tetapi hanya hasil kutipan dan saduran dari pendapat para pakar ilmu qiraat semata. Dan kalau ada dua pendapat yang saling bertentangan, kita harus maklum. Namanya saja masalah ijtihad, para ahlinya silahkan berbeda pendapat. Sementara kita yang bukan ahli ilmu qiraat, apalagi yang kualitas bacaan Al-Qurannya masih parah dan bermasalah, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak ikut-ikutan berfatwa. Biarkan saja para pakarnya yang berbeda pendapat, sebab mereka memang ahlinya. Mereka berhak dan punya kompetensi untuk itu. 

Dalam kitab tafsir munir karya Dr. Wahbah Zuhaili disebutkan bahwa imam madzhab 4 dari dulu sudah berbeda pendapat dalam hal melagukan/mengiramakan bacaan al-Qur’an. Imam Malik dan Ahmad tidak memperbolehkan dan menghukuminya makruh, sementara Imam Hanafi dan Syafii memperbolehkan. Masing-masing memiliki dalil yang menguatkan.


Adapun kita, mari kita duduk manis saja mendengarkan para pakar berbeda pendapat, tidak perlu merasa jadi pahlawan kesiangan di bidang yang sama sekali bukan keahlian kita. Dari pada bikin pernyataan terlalu jauh ternyata kurang tepat, lebih baik kita tahu diri seraya berdoa memohon kepada Allah agar kita diberikan anugerah untuk bisa membaca Al-Qur’an secara istiqomah. Dan bacaan kita itu benar sehingga mendapatkan pahala dari Allah swt. Tak lupa kita juga memohon kepadaNya agar kita diberikan kepahaman akan ayat-ayatnya. Amin.

No comments:

Post a Comment

Resources